Karakterisasi Siswa melalui Keteladanan Orang Tua dan Guru



Karakterisasi Siswa melalui Keteladanan Orang Tua dan Guru

Pesatnya ilmu dan  teknologi, serta  kebebasan pers melalui media cetak maupun elektronika,telah membawa  perubahan pada hampir semua aspek kehidupan manusia, baik yang menyangkut politik, ekonomi, maupun kehidupan sosial budaya bangsa.
Sesuai  Undang – undang No. 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 3 disebutkan bahwa  Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi  peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Maka dari itu, untuk mewujudkan tujuan tersebut, khususnya dalam membentuk watak, serta peradaban bangsa yang bermartabat, harus ada upaya-upaya untuk meningkatkan pendidikan budi pekerti, khususnya di Sekolah Dasar.

Kalau kita perhatikan, tata kehidupan anak, khususnya siswa Sekolah Dasar, telah banyak  meninggalkan adat ketimuran yang penuh dengan sopan-santun, tata krama, atau dalam bahasa jawa disebut unggah-ungguh.
Tingkah laku siswa keseharian, cara berbahasa, perilaku, tata krama, tindakan,  mulai terpengaruh  budaya barat. Ilustrasi berikut adalah contoh konkrit ketika siswa bertemu guru menyapa, “Halo, Pak“ sambil mengangkat tangannya. Atau siswa yang sedang berkejaran, tidak mempedulikan orang tua yang  di sekitarnya. Terlebih lagi cara berbahasa, kepada siapa dan dalam kontek apa, mereka  mengacuhkan dan tidak  memperhatikan apa yang disebut tata krama berbahasa (unggah – ungguh).
Banyak siswa beranggapan bahwa memelihara adat ketimuran (sopan santun, tata krama, unggah-ungguh) adalah budaya tempo dulu. Sebaliknya juga tidak sedikit orang tua yang paham tentang budi pekerti, tetapi mereka selalu melanggar norma- norma peradaban bangsa, sehingga sulit untuk dijadikan  teladan. Yang membuat prihati apabila pelakunya seorang Guru. Dalam istilah bahasa Jawa guru adalah sosok yang  digugu dan ditiru. Dalam analogi ekstrim bahkan teladan buruk guru dapat dilakukan lebih buruk lagi oleh siswa sebagaimana peribahasa guru kencing berdiri, murid kencing berlari.
Permasalahan lain, sebagian besar sinetron yang ditayangkan di stasiun televisi berlatar belakang anak sekolah sebagai tokoh utamanya, baik tokoh pentagonis maupun tokoh antagonis. Akibatnya sebagian besar anak meniru tingkah laku yang paling mudah  untuk ditiru, yaitu tokoh antagonis, yang tidak tahu tentang budi pekerti, sopan-santun, dan tata krama.

Sebuah Solusi
Berdasarkan uraian di atas,  maka   guru berkewajiban tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan melainkan juga mendidik  siswa ke arah  kedewasaan moral. Membentuk kepribadian siswa yang memahami akan sopan-santun, tata krama, atau  berbudi pekerti yang luhur, tidaklah mudah seperti yang kita bayangkan, karena parameter dan indikator yang juga turut berkembang seirama perubahan budaya.
Pemerintah telah menginterprestasikan Pendidikan Budi Pekerti ke dalam mata pelajaran, tetapi perubahan kepribadian peserta didik  belum memenuhi harapan. Oleh karenanya melalui strategi dalam paparan ini, dimungkinkan dapat membentuk peserta didik memiliki kepribadian sesuai dengan peradaban bangsa Indonesia.
Pertama, di dalam lingkungan keluarga, orang tua harus selalu menanamkan sopan- santun, tata krama, unggah-ungguh pada anaknya. Tidak sekedar kata-kata tetapi juga diwujudkan dalam tindakan sehari-hari, Misalnya, dalam berbicara dan bertingkah laku.
Kedua, dalam mensikapi masuknya arus globalisasi, kebebasan pers pada media cetak maupun elektronik, orang tua harus waspada dan bersifat peduli terhadap perilaku anak. Sebagai contoh, apabila anak menyaksikan televisi, atau membaca  bacaan yang berindikasi pada pornografi, orang tua harus bertindak tegas melarangnya. Demikian juga kecanggihan HP (Handphone)  dengan kemampuannya mengakses dan menyimpan data perlu disikapi dengan lebik bijak. Hendaknya orang tua memiliki aturan yang tegas, dan pada saat-saat tertentu memeriksa memori maupun jejak guna HP tersebut.
Ketiga, dalam falsafah Jawa,  guru adalah figur yang dapat digugu dan ditiru, jadi mendidik siswa  jangan hanya sekedar memberi teori-teori mengenai budi pekerti yang harus dilaksanakan oleh peserta didik, sementara guru sendiri tidak menghiraukan apa itu budi pekerti. Sebagai pendidik, orang guru  harus  menjadi contoh dalam kehidupan sehari-hari, baik di lingkungan sekolah maupun di  masyarakat. Logika riil dari kondisi ini adalah bagaimana mungkin seorang guru melarang anak didiknya minum-minuman keras, dan berjudi, sementara guru sendiri melakukan hal tersebut dengan suka hati.
Guru sekaligus sebagai orang tua siswa di sekolah, dalam rangka membentuk kepribadian siswa mengarah pada peningkatan budi pekerti yang luhur, sesuai dengan peradaban bangsa kita yang kaya akan sopan-santun, dan  tata krama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar


close
cbox




[ code ]