Opini Pendidikan


Guru Pemandu KKG Gugus Hasanuddin Kecamatan Purwantoro :
Sri Wasito, S.Pd :

PENDIDIKAN BERKARAKTER 

S
aat ini siswa yang duduk di bangku SLTP sedang menempuh Ujian Akhir Nasional dan siswa SD pun akan menyusul menempuh ujian pula. Ketika ujian berlangsung diadakan pengawasan silang agar hasil tes lebih terjaga kemurniannya. Akan tetapi masih ada anak yang mengerjakan soal dengan cara-cara yang kurang terpuji dengan mencontek pekerjaan teman, membuat catatan atau dengan cara lain yang tidak dibenarkan. Dengan demikian kita menyimpulkan karakter anak tersebut negative atau tidak benar. Atau sering kita sebagai pendidik merasa kewalahan dengan perilaku anak didik yang tidak bisa diatur, nakal atau egois dan sering membuat kekacauan di dalam kelas, maka kita melihat bahwa karakter anak ini negatif. Kedua contoh diatas tidak akan terjadi manakala anak sejak dini dan di sekolahan mendapatkan pendidikan karakter. untuk lebih mengenal pendidikan karakter lebih jelasnya seorang pendidik meresapi tulisan ini.
Pendidikan karakter sangat penting, ini sejalan dengan makna kata pendidikan dalam bahasa Latin “Educare”. Berdasarkan etimologisnya, “Educare” (dari ex = keluar, dan ducere = membimbing, menuntun, menarik, mengajar). Ini berarti, tugas pendidikan adalah membimbing, menuntun, menarik keluar potensi positif tersembunyi yang dimiliki peserta didik menjadi potensi yang termanifestasikan, teraktualisasikan, dan terartikulasikan. Pendidikan karakter juga tersirat dalam tujuan pendidikan nasional yaitu alam Undang-Undang Nomor : 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3 yaitu : “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, sehat, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Secara yuridis bunyi UU tersebut mengisyaratkan bahwa pendidikan kita harus memiliki karakter positif yang kuat, artinya praktik pendidikan tidak semata berorientasi pada aspek kognitif, melainkan secara terpadu menyangkut tiga dimensi taksonomi bloom, yakni: kognitif (aspek intelektual : pengetahuan, pengertian, keterampilan berfikir), afektif (aspek perasaan dan emosi: minat, sikap, apresiasi, cara penyesuaian diri), dan psikomotor (aspek keterampilan motorik), serta berbasis pada karakter positif dengan berbagai indikator.
Untuk lebih jelas tentang karakter secara etimologis karakter berasal dari kata Latin kharakter, kharassein, dan kharax, yang maknanya "tools for marking". Kata ini mulai banyak digunakan (kembali) dalam bahasa Perancis caractere pada abad ke-14 dan kemudian masuk dalam bahasa Inggris menjadi character, sebelum akhirnya menjadi bahasa Indonesia karakter. Dalam Kamus Poerwadarminta, karakter diartikan sebagai tabiat; watak; sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang daripada yang lain. Agar terbentuk pribadi yang berkarakter, maka sejak dini anak mesti dilatih untuk hidup tertib, menghargai hak orang lain, sabar, disiplin diri, kejujuran, tanggung jawab, peduli, setia pada komitmen, dan menentukan prioritas hidup.
Dengan pengertian di atas dapat dikatakan bahwa sekolah diharapkan membangun karakter siswa (character building) yaitu proses mengukir atau memahat jiwa sedemikian rupa, sehingga `berbentuk' unik, menarik, dan berbeda atau dapat dibedakan dengan orang lain. Sekolah dituntut mampu memberikan dan memenuhi harapan akan pendidikan yang bermutu agar tercapainya tujuan pendidikan. Sekolah harus memiliki disiplin, guru-guru yang profesional,  pendidikan bermutu, sarana prasarana memadai, memiliki jejaring yang luas, relasi yang baik antara sekolah dan pihak orangtua/wali, menerapkan PAKIEM dalam proses pembelajarannya, dan menciptakan karakter positif pada anak.
             Untuk mencetak siswa yang berkarakter, mengutip Ratna Megawangi, ada tiga unsur mutlak yang mesti ada dalam pendidikan karakter. Pertama, knowing the good, maksudnya anak tidak hanya tahu tentang hal-hal yang baik, tapi mereka harus paham mengapa melakukan hal itu. Kedua, feeling the good, maksudnya membangkitkan rasa cinta anak untuk melakukan hal yang baik. Anak dilatih untuk merasakan efek dari perbuatan baik yang dilakukan. Ketiga, acting the good, maksudnya, anak dilatih untuk berbuat mulia, berbuat sesuatu yang baik itu harus dilatih.
Ketiga hal itu harus dilatihkan secara terus-menerus dan berkelanjutan hingga menjadi kebiasaan. Setelah menjadi kebiasaan, harapannya akan menjadi karakter, yang akan menentukan nasib (hidup) anak kelak. Sekolah wajib mewujudkan pendidikan yang berkarakter. Untuk mendidik siswa menjadi manusia seutuhnya, keprihatinan dan komitmen sekolah (guru) terhadap kemanusiaan mesti menjadi perhatian utamanya. Untuk itu, nilai-nilai luhur seperti: kebenaran, keadilan, kedamaian, pengorbanan, kesabaran, kebebasan, kejujuran dan hati nurani, disiplin, harapan dan kasih, serta tanggung jawab mesti dikedepankan.
Sekolah harus menjadi sumber informasi anak yang akan membentuk sistem kepercayaan dan pola pikir, menumbuhkan sistem kepercayaan (belief system), citra diri (self-image), dan kebiasaan (habit) yang unik. Jika sistem kepercayaannya benar dan selaras, karakternya baik, dan konsep dirinya bagus, maka kehidupannya akan terus baik dan semakin membahagiakan. Sebaliknya, jika sistem kepercayaannya tidak selaras, karakternya tidak baik, dan konsep dirinya buruk, maka kehidupannya kelak akan dipenuhi banyak permasalahan dan penderitaan.
Pada dasarnya setiap anak kecil memiliki konsep diri yang bagus. Mereka ceria, semangat, dan berani. Tidak ada rasa takut dan tidak ada rasa sedih. Mereka selalu merasa bahwa dirinya mampu melakukan banyak hal. Karena itu, mereka mendapatkan banyak hal. Kita bisa melihat saat mereka belajar berjalan dan jatuh, mereka akan bangkit lagi, jatuh lagi, bangkit lagi, sampai akhirnya mereka bisa berjalan. Di dalam kelas hendaknya guru memupuk karakter positif dengan terus menanamkan konsep diri yang baik. Guru harus menghindarkan konsep bahwa anak didiknya ada yang bodoh. malas, nakal dan sifat negatif lainnya karena akan mendorong anak putus asa.  Anak mengetahui bahwa nilai yang didapatkannya berada di bawah rata-rata dan orang tua mereka juga mengatakan bahwa mereka memang adalah anak-anak yang bodoh. Tentu saja, dampak negatif dari konsep diri yang buruk ini bisa membuat mereka merasa kurang percaya diri dan sulit untuk berkembang kelak di kemudian hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar


close
cbox




[ code ]